• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

UMAR BIN KHOTOB

KisUmar bin Khatthab radhiallahu 'anhu (RA) masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih 40 orang. Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim meriwayatkan dengan riwayat yang sama bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa salam (SAW) pernah berdoa (yang artinya): "Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai di antara kedua orang ini, yaitu Umar bin Khaththab atau Abu Jahal 'Amr bin Hisyam.".


Dikutip dari Biografi Umar Ibn Khaththab dalam Tahbaqat Ibn Sa'ad, Tarikh al-Khulafa'ar Rasyidin Imam Suyuthi dan beberapa sumber lain, Anas bin Malik berkata: "Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya" Wahai Umar, hendak kemana engkau?," maka Umar menjawab, "Aku hendak membunuh Muhammad."

Selanjutnya orang tadi bertanya: "Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad". Lalu orang tadi berkata, "Apakah engkau tidak kau tahu bahwa adikmu dan saudara iparmu telah meninggalkan agamamu". Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Alqur'an, lalu Umar berkata, "Barangkali keduanya benar telah berpindah agama".

Maka Umar melompat dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khaththab) datang mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga wajah adiknya mengeluarkan darah.

Kemudian Umar berkata: "Berikan lembaran (Alqur'an) itu kepadaku, aku ingin membacanya", maka adiknya berkata." Kamu dalam keadaan najis tidak boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci. Kalau engaku ingin tahu maka mandilah (berwudhulah/bersuci)." Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci), kemudian membaca lembaran (Alqur'an) yaitu surat Thaha sampai ayat 14 yang artinya:
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dirikanlah Salat untuk mengingatku."

Setelah membaca ayat itu, Umar berkata, "Bawalah aku menemui Muhammad." Mendengar perkataan Umar itu, Khabbab langsung keluar dari persembunyiannya seraya berkata: "Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku berharap doa yang dipanjatkan Nabi pada malam Kamis menjadi kenyataan, Beliau (Nabi) berdo'a "Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai di antara kedua orang ini, yaitu Umar bin Al-Khaththab atau Abu Jahal 'Amr bin Hisyam."

Lalu Umar berangkat menuju rumah Nabi Muhammad SAW. Di depan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya berkata, "Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya".

Lalu kemudian Umar menyatakan masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW. Masuknya Umar ke dalam Islam menambah kejayaan Islam dan kaum muslimin. Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah dan tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah.

Rasulullah memberinya gelar Al-Faruq kepadanya, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari Dzakwan, seraya berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, Siapakah yang memanggil Umar dengan nama Al-Faruq?", maka Aisyah menjawab: "Rasulullah".

Hadist Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Sungguh telah ada dari umat-umat sebelum kamu para pembaharu, dan jika ada pembaharu dari umatku niscaya 'Umarlah orangnya". Demikian juga Imam Tirmidzi telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi bersabda, "Seandainya ada seorang Nabi setelahku, tentulah Umar bin Khatthab orangnya."

Rasulullah SAW juga bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mengalirkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar". (HR Tirmidzi)

Setan Lari Jika Bertemu Umar
Tak hanya orang kafir Quraisy yang takut kepada Umar, setan dari bangsa Jin juga memilih kabur apabila bertemu Umar Bin Khattab. Beliau memang dikenal berani dan sangat bijaksana.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya setan benar-benar takut padamu wahai Umar. Tatkala aku duduk budak wanita itu memukul rebana, lalu masuk Abu Bakar, 'Ali dan Utsman, dia masih memukul rebana, tatkala dirimu yang datang budak wanita itu melemparkan rebananya."

Bahkan setan pun sangat takut apabila bertemu Umar bin Khattab. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Ibnul Khatthab, demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tanganNya, sesungguhnya tidaklah setan menemuimu sedang berjalan di suatu jalan kecuali dia akan mencari jalan lain yang tidak engkau lalui." Dalam hadits lain, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sungguh aku melihat setan dari kalangan manusia dan jin lari dari Umar." (HR. Tirmidzi)

Penyebab takutnya setan kepada Umar tentu bukan hanya dikarenakan keberaniannya. Umar dikenal memilih iman yang kokoh dan tidak mau terperdaya oleh urusan dunia.

Berpulang ke Rahmat Allah
Khalifah Islam kedua Sayyidina Umar bin Khattab wafat pada Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Beliau ditikam oleh seorang Majusi bernama Abu Lu'luah (Fairuz), budak Al-Mughirah bin Syu'bah saat memimpin salat Shubuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Penikaman Umar dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lu'luah terhadap Umar karena sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya. Umar dimakamkan di samping Nabi dan Abu Bakar Shiddiq. Setelah beliau wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Utsman bin Affan. Semoga Allah meridhainya.

Keluarga
Ayah: Al-Khaththab bin Nufail dari Bani 'Adi.
Ibu: Hantamah binti Hisyam dari Bani Makhzum.

Pasangan dan anak
1. Zainab binti Mazh'un, berasal dari Bani Jumah. Zainab menikah dengan 'Umar sebelum tahun 605. Anak dari pernikahan beliau dengan Zainab:
- 'Abdullah. Periwayat hadits terbanyak setelah Abu Hurairah.
- 'Abdurrahman
- 'Abdurrahman
- Hafshah (istri Nabi Muhammad SAW)

2. Ummu Kultsum binti Jarwal, juga dikenal dengan Mulaika. Dia berasal dari Bani Khuza'ah. Dia menikah dengan 'Umar sebelum tahun 616. Nabi Muhammad tidak memperkenankan umat Muslim mempertahankan pernikahan dengan orang musyrik sehingga 'Umar kemudian menceraikan Ummu Kultsum. Ummu Kultsum kembali ke Makkah setelah perceraian itu. Anak dari Ummu Kultsum hanya satu, yaitu:
- 'Ubaidillah.

3. Quraibah binti Abu Umayyah. Dia berasal dari Bani Makhzum. Ayah Quraibah, Abu Umayyah bin Al-Mughirah, adalah pemimpin Makkah pada awal abad ketujuh. Ibunya, Atikah binti 'Utbah, berasal dari Bani Abdu Syams. Quraibah juga merupakan saudari seayah dari Ummu Salamah Hindun, istri Nabi Muhammad SAW. Hindun binti 'Utbah adalah bibi Quraibah dari pihak ibu. Quraibah menikah dengan 'Umar sebelum tahun 616 dan 'Umar menjadi suami keduanya. Tidak memiliki anak dengan 'Umar.

4. Jamilah binti Tsabit, nama aslinya adalah 'Ashiyah. Dia berasal dari Bani Aus dari pihak ayah dan ibu. Jamilah dan ibunya, Asy-Syamus binti Abu Amir, adalah termasuk dari sepuluh wanita yang berbaiat pada Nabi Muhammad pada 622. Nabi Muhammad kemudian memberinya nama baru, Jamilah, yang berarti 'cantik'. Dia menikah dengan 'Umar antara tahun 627 sampai 628. Anak dari Pernikahannya dengan Jamilah:
- 'Ashim (Kakek dari Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz).

5. 'Atikah binti Zaid. Dia berasal dari Bani 'Adi. 'Atikah termasuk sahabat Nabi dan juga seorang penyair. Dia menikah lima kali dan 'Umar adalah suami ketiganya. Suami pertamanya adalah Zaid, saudara 'Umar sendiri, dan suami keduanya adalah 'Abdullah bin Abu Bakar yang meninggal pada tahun 633. 'Atikah sendiri berada di masjid saat 'Umar ditikam yang berujung pada kematiannya pada 644, 'Atikah menikah dengan Zubair bin 'Awwam yang gugur di Perang Jamal pada tahun 656. 'Atikah kemudian menikah dengan Husain, cucu Nabi Muhammad. 'Atikah meninggal pada tahun 672. Anak dari pernikahan Umar dengan Atikah:
-Iyaad

6. Ummu Hakim binti Harits. Dia berasal dari Bani Makhzum. 'Umar sendiri adalah suami ketiga Ummu Hakim. Suami pertamanya adalah Ikrimah bin Abu Jahal dan suami keduanya adalah Khalid bin Sa'id. Anak dari pernikahannya dengan Ummu Hakim:
- Fatimah

7. Ummu Kultsum binti 'Ali atau Zainab as-Sughra. Dia adalah cucu Nabi Muhammad, putri Fatimah az-Zahra dan 'Ali bin Abi Thalib. 'Umar memberikan mahar untuk pernikahannya dengan Ummu Kulstum sebesar 40.000 dirham dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun. Dua Anak dari Pernikahan Mereka:
- Zaid
- Ruqayyah

8. Luhyah, wanita Yaman. Al-Waqidi menyatakan bahwa dia adalah seorang budak-selir. Anak hasil dari pernikahan ini yaitu:
- 'Abdurrahman

9. Rukayhah, seorang budak-selir. Hasil pernikahan dengan Rukayhah memiliki anak 1 yaitu:
- Zainab
(rhs)
cover top ayah
وَ يَسۡـــَٔلُوۡنَكَ عَنِ الۡمَحِيۡضِ‌ۙ قُلۡ هُوَ اَذًى فَاعۡتَزِلُوۡا النِّسَآءَ فِى الۡمَحِيۡضِ‌ۙ وَلَا تَقۡرَبُوۡهُنَّ حَتّٰى يَطۡهُرۡنَ‌‌ۚ فَاِذَا تَطَهَّرۡنَ فَاۡتُوۡهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيۡنَ وَيُحِبُّ الۡمُتَطَهِّرِيۡنَ
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

(QS. Al-Baqarah:222)
cover bottom ayah

Share:

Puasa Adalah Perisai

Segala puji bagi Allah SWT yang memperbanyak anugerah bagi hamba-hamba-Nya, dengan menolak tipu daya dan seni syaitan. Dia menolak angan-angannya dan merugikan dugaannya, karena Dia menjadikan puasa sebagai benteng dan perisai bagi para wali (kekasih)Nya, Dia bukakan pintu-pintu surga dengannya. Dan Dia kenalkan kepada mereka bahwa perantara syaitan kepada hati mereka adalah syahwat yang menetap.
Adapun puasa itu sesungguhnya adalah seperempat dari Iman, sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Puasa itu separuh kesabaran” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah), dan “Sabar adalah separuh dari Iman” (HR. Abu Ma’im dan Al Khathib).
Kemudian puasa itu mendapat keistimewaan dengan kekhususan nisbat kepada Allah ta’ala dari seluruh rukun-rukun Islam, karena Allah SWT telah berfirman dalam apa yang diceritakan oleh Nabi-Nya SAW, “Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku  dan Aku membalasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian sanglatlah relevan karena puasa hanya untuk-Nya dan dimuliakan dengan penisbatan kepada-Nya  meskipun seluruh ibadah itu baginya, sebagaimana dimuliakannya Baitullah (Ka’bah) dengan menisbatkan kepada diri-Nya. (Ihya’ Ulumuddin, jilid 2, h. 84).
Puasa menjadi pintu ibadah dan dan menjadi perisai dalam kehidupan kita, maka kali ini kami sengaja menerangkan syarat-syarat, rukun-rukun serta sunnat-sunnatnya berpuasa.
Mengawasi bulan Ramadhan  itu dengan melihat tanggal muda. Jika berawan maka dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. Kami maksudkan dengan melihat itu mengetahui hal itu dengan tercapai, dengan perkataan seorang yang adil (dapat dipercaya).
Niat diwaktu malam untuk tiap hari berpuasa Ramadhan. Dan sedikitnya mengucapkan dalam hati , “Nawaitu shauma Ramadhan.” (niat aku puasa bulan Ramadhan), dan sempurnanya, “Nawaitu shauma ghadin an ada’i fardhi syahri Ramadhan hadzihissanati lillahi ta’ala” (niat saya puasa esok hari menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala) (Irsyadul ‘ibad ilasabilirrasyad h, 315)
Dan sunnatnya, bersahur walau hanya dengan sebiji kurma atau seteguk air, waktu sahur adalah dari tengah malam, dan sunnat mengakhirkan  sahur hingga akhir malam, asalkan belum melewati waktu imsak, karena Nabi SAW. Bersabda, “Makan sahur itu berkat, karena itu jangan kamu tinggalkan, walau sekedar meneguk air, karena Allah merahmati orang-orang yang sahur, dan malaikat mendoakan orang-orang yang sahur.”(HR. Ahmad)
Juga sabda Nabi SAW. “Jika kamu Puasa maka bersiwaklah diwaktu pagi, dan jangan bersiwak diwaktu sore, maka sesungguhnya tiada orang puasa yang kering bibirnya diwaktu sore, melainkan akan menjadi cahaya didepan matanya  pada hari kiamat.” (HR. Atthabarani).
Dan segeralah berbuka jika nyata terbenam matahari , dan berbuka sebelum sembanyang Maghrib dengan tiga biji kurma atau tiga teguk air. Nabi SAW bersabda, Allah telah  berfirman, “Hamba-Ku yang lebih Aku cinta yaitu mereka yang segera berbuka (ya’ni jika telah nyata Maghrib). (HR. Attirmidzi).
Dan yang membatalkan puasa ada delapan hal yaitu,
  • Masuknya suatu benda kedalam perut dengan sengaja, dari lubang-lubang yang terbuka. (sesuatu ke rongga dengan sengaja serta dalam keadaan ingat jika dia sedang puasa. Maka puasanya rusak (batal) dengan makan, minum, memasukkan sesuatu kedalam hidung dan memasukkan sesuatu lewat lubang kemaluan).
  • Batasnya adalah masuknya penis laki-laki (kepala kemaluan laki-laki kedalam (Farji wanita). Tapi jika ia bersetubuh karena lupa maka puasanya tidak rusak (batal), adapun jika ia bersetubuh di malam hari atau bermimpi hingga mengeluarkan mani, sampai masuk pagi ia masih dalam keadaan junub, puasanya tidaklah batal.
  • Mengeluarkan mani dengan sengaja, melalui onani / masturbasi (jika keluarnya mani tanpa onani, semisal dengan cara mengkhayalkan bersetubuh dengan seorang wanita atau keluar tanpa sengaja seperti karena mimpi, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
  • Muntah dengan sengaja.
  • Haidh, yaitu keluarnya darah kotor pada wanita.
  • Nifas, yaitu keluarnya darah setelah melahirkan.
  • Gila (berubah akal).

Adapaun kelaziman (kewajiban) berbuka (batal puasanya) itu diantaranya yaitu
  • Qadha, yaitu wajib membayar puasa selain dibulan Ramadhan, wajibnya umum atas setiap muslim yang mukallaf (telah dewasa dan berakal) yang meninggalkan puasa dengan sengaja atau karena berhalangan diantaranya, wanita yang haidh, orang yang murtad, juga bagi orang yang kelupaan niat diwaktu malam Ramadhan, atau bersahur disangka belum fajar, atau berbuka disangka sudah maghrib padahal belum.
  • Kafarat. adalah dengan memerdekakan budak, jika ia kesulitan maka hendaknya berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu (lemah) maka memberi makan pada enam puluh orang miskin satu mud. (satu mud = 2,6 kg makanan pokok). Adapun kafarat itu tidak wajib kecuali jika bersetubuh di siang hari Ramadhan dan juga wajib Qadha selain membayar tebusan tersebut. Fidyah, juga dengan satu mud makanan pokok untuk tiap satu puasa yang ditinggalkan wajib disertai kewajiban mengqadha juga bagi orang hamil atau menyusui apabila dia berbuka puasa (membatalkan puasa) karena takut akan kesehatan anaknya (bayinya) atau mengkhawatirkan kesehatan dirinya, namun jika yang dikhawatirkan hanya kesehatan dirinya dan bayinya sekaligus maka ia hanya wajib qadha tanpa harus membayar fidyah. atau orang yang lanjut usia dan sudah tidak kuat lagi berpuasa, membayar satu hari satu mud. Untuk orang-orang miskin tanpa mengqadha.
Dan yang membatalkan pahala puasa itu dalam ijmaa’ ulama’ yaitu, berdusta, ghibah (menggunjing), memaki (mencaci maki). Nabi SAW bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan kata dusta (bohong) dan perbuatannya maka Allah tidak berhajat  padanya untuk meninggalkan makan minumnya.” (HR. Bukhari).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda, “Bukan yang bernama puasa itu sekedar menahan makan minum, tetapi puasa yang sungguh-sungguh itu menahan diri dari laghu (lelahan, perkataan tidak ada gunanya) dan kata-kata keji.” (HR. menurut syarat Muslim).
Seorang ulama’ salaf berkata, “Seringan-ringan puasa itu meninggalkan makan dan minum. Maka jika anda puasa hendaknya pendengaran, pengelihatan dan lidahmu terpelihara dari dusta serta semua yang haram, dan tinggalkan gangguan (jangan menganggu) orang lain.
Dalam musnad Imam Ahmad dikatakan, “Ada dua wanita yang sedang berpuasa dimasa Rasulullah SAW, tiba-tiba pada sore hari  keduanya merasa payah karena sangat lapar dan haus hampir pingsan keduanya, maka keduanya mengirim kan utusan kepada Rasulullah SAW. untuk minta izin akan berbuka (membatalkan puasanya), maka Nabi SAW mengirim pada keduanya mangkuk dan menyuruh keduanya memuntahkan didalamnya apa yang telah dimakan itu. Tiba-tiba yang satu muntah darah dan daging mentah dan yang kedua juga begitu sehingga penuh mangkuk itu, maka orang-orang merasa heran (ajaib), lalu Nabi SAW bersabda, Keduanya puasa dari apa yang dihalalkan Allah, dan makan apa yang diharamkan oleh Allah, sebab yang satu pergi pada yang lain untuk duduk bersama ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), maka itulah bukti apa yang mereka  makan dari daging orang-orang.
Share:

Cara Memperbaiki Memory Card Rusak atau Tidak Terbaca

Cara 1: Membersihkan Kartu Memori

  • Pertolongan pertama untuk mengatasi masalah memory card tidak terdeteksi adalah dengan mengeluarkan kartu memori dari gadget. Pastikan kamu sudah mematikan gadget terlebih dahulu.
  • Bersihkan lempengan tembaga (berwarna kuning keemasan) dengan penghapus pensil (yang warna putih). Gosok perlahan hingga bersih.
  • Jika yakin sudah bersih, masukan kembali kartu memori ke dalam slot memori lalu periksa apakah sudah terbaca atau belum.

Cara 2: Melakukan Format dari Android

  • Masuk ke menu Setting > Storage.
  • Di dalam menu tersebut terdapat pilihan Erase SD card. Dengan menghapus SD Card, dapat membuat memori bersih seperti baru.

Cara 3: Cek Error dari PC

  • Hubungkan Android ke laptop atau PC dengan kabel data.
  • Pastikan Android kamu terhubung dalam Mass storage mode (MSC), bukan Media transfer mode (MTP).
  • Buka Windows Explorer, klik kanan pada Drive kartu memori, pilih Properties > Tools > Error Checking, tunggu hingga semua proses selesai.
  • Eject kartu memorinya, lalu cek apakah sudah terbaca atau belum.

Cara 4: Format dari PC

Jika kartu memori (MicroSD) terbaca dan terlihat baik-baik saja di komputer namun tetap tidak terbaca di Android. Coba gunakan cara ini:
  • Buat folder baru di HardDisk, beri nama sembarang asal kamu ingat kalau folder baru ini akan menjadi tempat penyimpanan sementara alias backup isi kartu memori yang rusak tadi.
  • Copy seluruh isi kartu memori lalu Paste ke dalam folder yang sudah dibuat tadi.
  • Jika sudah yakin tersalin semua, format kartu memori tersebut.
  • Lalu kembalikan semua data-data yang ada di folder ke dalam memori yang sudah diformat tadi.
  • Sekarang cek lagi, masih gagal atau tidak.
Jika masih gagal juga, coba ulangi kembali langkah-langkahnya.
Share:

Tafsir Al Qur'an Sufistik Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Tafsir Al-Jailani
Tafsir Al-Jailani
Penemuan karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani oleh cucu ke-25-nya sendiri, Syekh Dr. Muhammad Fadhil, membuat dunia akademik dan pengamal tarekat/tasawuf terkagum-kagum. Bagaimana tidak? Naskah ini selama 800 tahun menghilang dan baru ditemukan secara utuh di Vatikan. Manuskrip yang berisi 30 Juz penuh ini tersimpan secara baik di perpustakaan. 

Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menulis kitab tafsir Al-Quran 30 juz yang mengulas ayat-ayat Al-Quran. Kita seolah-olah mempelajari samudra tasawuf dari ayat ke ayat. Dan, alhamdulillah, Tafsir Al-Jailani, yang dalam bahasa Arab telah diterbitkan oleh Markaz Al-Jailani Turki (6 jilid), kini telah berhasil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia/Melayu menjadi 12 Jilid. Hingga hari ini, Markaz Jailani Asia Tenggara baru mencetak 2 jilid pertama.

Para salik yang berada di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand dan Singapura yang berbahasa Melayu bisa mempelajari makna-makna penting tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dengan mudah.

Kami sangat berterima kasih dengan perjuangan penelitian dan penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Dr Muhammad Fadhil dalam menyelamatkan manuskrip-manuskrip langka ini. Terutama yang berkaitan dengan Tafsir Al-Jailani. Kami terharu ketika mendengarkan langsung kisah pengkajian dan penelitiannya selama puluhan tahun.

Berikut adalah penuturan Syekh Fadhil dalam pembukaan kitab Tafsir Al-Jailani yang ditelitinya:

“Saya tumbuh besar di bawah pendidikan kakek saya Sayyid Syarif al-Alim al-Muqtada bin wa al-Quthb al-Kamil asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Jalilaniy al-Hasaniy. Ayah saya bernama Sayyid Syarif al-Alim al-Allamah wa al-Bahr al-Fahhamah Syaikh Muhammad Faiq Jailaniy al-Hasaniy.

Setelah saya mendatangi Madinah Munawwarah dan tinggal di kota ini, saya pun mulai mencari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy Radhiyallahu 'Anhu pada tahun 1977 M di Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya sampai tahun 2002 M.

Setelah tahun itu, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk mencari kitab-kitab sang Syaikh Radhiyallahu 'Anhu, dan sampai hari ini saya masih terus melanjutkan pencarian itu.

Saya telah mendatangi sekitar lima puluh perpustakaan negara dan puluhan perpustakaan swasta yang terdapat di lebih dari 20 negara. Bahkan ada beberapa negara yang saya datangi sampai lebih dari dua puluh kali.

Dari proses panjang itu saya berhasil mengumpulkan tujuh belas kitab dan enam risalah yang salah satunya adalah kitab tafsir ini yang menurut saya, tidak ada bandingannya di seluruh dunia.

Dari perjalanan saya mendatangi beberapa pusat-pusat ilmu pengetahuan, saya pun mengetahui bahwa ada empat belas kitab karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang dianggap punah. Oleh sebab itu, saya terus melakukan pencarian kitab-kitab tersebut di pelbagai perpustakaan internasional setelah kitab tafsir ini selesai dicetak dan diterbitkan, insya Allah.

Sungguh saya sangat bergembira dan bersyukur kepada Allah SWT ketika saya mengetahui bahwa jumlah lembaran tulisan karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy radhiyallâhu 'anhu yang berhasil saya kumpulkan mencapai 9.752 lembar. Jumlah itu tidak termasuk tulisan-tulisan yang akan kami terbitkan saat ini dan beberapa judul yang hilang. Tentu saja, semua ini membuat saya sangat gembira dan bangga tak terkira kepada kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy r.a.

Ada sebuah pengalaman menakjubkan yang saya alami ketika saya mendatangi negeri Vatikan untuk mencari karya-karya sang Syaikh di perpustakaan Vatikan yang termasyhur. Ketika saya memasuki negara Vatikan, petugas imigrasi bertanya kepada saya tentang alasan saya mengunjungi Perpustakaan Vatikan. 

Pertanyaan itu dijawab oleh seorang kawan asal Italia yang mendampingi saya dengan mengatakan bahwa saya sedang mencari buku-buku karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Saya kaget ketika tiba-tiba saja, petugas itu langsung berdiri dan berhormat seraya berkata: "Ya, ya, Sang Filsof Islam, Abdul Qadir al-Jailaniy." 

Setelah saya memasuki Perpustakaan Vatikan, saya menemukan pada katalog perpustakaan dan beberapa buku yang ada di situ sebuah tulisan dalam Bahasa Italia yang berbunyi: "Filsuf Islam", dan dalam Bahasa Arab: "Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn".

Dua gelar ini tidak pernah saya temukan di semua perpustakaan yang ada di tiga benua kecuali hanya di sini. Di Perpustakaan Vatikan saya juga menemukan sebuah tulisan tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang berbunyi: "Sang Syaikh Radhiyallahu 'Anhu membahas tiga belas macam ilmu."

Kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Bagaimana mungkin, karya-karya monumental Syekh Abdul Qadir Al-Jailani justru tersimpan rapi di perpustakaan di Vatikan? Kemana saja ahli-ahli sejarah kita? Mengapa karya sehebat itu “hilang” selama berabad-abad? Jangan-jangan selama ini lebih fasih orang Katolik mempelajari karya-karya Syekh Abdul Qadir Jailani daripada kita yang setiap bulan ikut Manaqib Syekh Abdul Qadir?

Kitab Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al Jailani, bisa menjadi rujukan bagi pembelajar ilmu tasawuf. Peminat tasawuf dapat mempelajari makna-makna Al Qur’an dengan batin dan ruh tasawuf dengan bimbingan Sulthonul Auliya ini. Bagai menyelami samudera syariat, thariqat, makrifat dari ayat ke ayat. Cocok sebagai referensi dalam berguru kepada Sang Mursyid.

“Dalam kitab ini, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak sekadar menafsirkan Al-Qur`an dengan pola tafsir yang hanya mengandalkan ilmu dan pemahaman seperti yang lazim terdapat dalam pelbagai kitab tafsir ...lain. Tetapi, tafsir ini lebih banyak bertumpu pada pemaparan ilhami yang menghidupkan ruh serta dapat menumbuhkan ketakwaan di satu sisi, dan di sisi lain mampu mengikat murid dengan gurunya, sehingga sang guru dapat terus meningkatkan kualitas murid hingga mencapai derajat setinggi mungkin.”

-Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jailani Al-Hasani-
(Pendiri dan Penasehat Utama Markaz Al-Jailani Internasional, Pentahkik kitab Tafsir Al-Jailani)

“Semoga dengan penerjemahan dan penerbitan Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam bahasa Indonesia/Melayu oleh Markaz Jailani Asia Tenggara, umat Islam di seluruh Nusantara dapat belajar, memahami dan mendalami ajaran-ajaran syariat, tarekat, makrifat dan hakikat dari ayat ke ayat dalam Al-Qur’an.”

-Syekh Rohimuddin Nawawi Al-Jahary Al-Bantani-
(Penasehat Markaz Jailani Asia Tenggara dan Direktur Dar Al-Hasani, Kelantan Malaysia)
  • Selama 800 tahun Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani “hilang” atau “dihilangkan.”
  • Karya ini ditemukan di Vatikan oleh cucu ke-25-nya, Syekh Dr. Muhammad Fadhil.
  • Ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis.
  • Teknik penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an bi Al-Qur’an).
  • Syekh Abdul Qadir secara cerdas mengulas ayat-ayat tentang hukum, fiqih, tauhid, hadis dan tasawuf dengan terang dan jelas.
  • Tafsir ini tergolong Tafsir Isyari—meski tidak semua ayat ditafsirkan secara isyari— disampaikan dengan mengagumkan, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam Al-Qur’an sangat sistematis, runtut, teratur dan sempurna.
  • Karya ini dapat menjadi rujukan utama para salik dalam menempuh jalan sufi.
  • Ketinggian ilmu hadis, syariat, fiqih, ilmu kalam, ulumul-Quran dan tasawuf yang dimiliki Syekh Abdul Qadir mendudukan buku ini sebagai kitab Tasawuf tingkat tinggi (first class).
  • Karya ini diterima dan tersebar di seluruh dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syekh Dr. Ali Jumu’ah (Mufti Mesir), Mufti Syria, Mufti Libanon, serta para Syekh sufi seperti murabbi besar Syekh Youssef Riq al-Bakhour dan lain-lain.
Syekh Dr Muhammad Fadhil, sebagai Ahli Peneliti Utama karya-karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani meyakini bahwa Kitab Tafsir ini adalah salah satu karya sultan para wali, Imam Agung Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang telah menghilang selama 800 tahun lebih dari dunia Islam. Ini dinyatakan Syekh Muhammad Fadhil, setelah melakukan penelitian dan analisa selama kurun waktu 30 tahun, serta belasan kali pembacaan ulang. Pernyataan tersebut bukanlah ungkapan subyektif dan emosional semata, namun berdasarkan fakta dan data-data filologis yang valid dari manuskrip-manuskrip yang dikajinya.

Harus diakui bahwa terdapat sejumlah kalangan yang meragukan penemuan ini, dengan melakukan penolakan dan pelecehan atas penisbatan kitab ini kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Pandangan-pandangan semacam ini muncul di website tertentu. Mereka berdalih bahwa di dalam kitab ini terdapat banyak ungkapan dan terminologi yang tidak dapat dipahami. Bahkan, ada yang menilai sebagai pandangan kafir. Bahkan, yang paling ironis, pandangan itu justru muncul dari ulama kontemporer yang telah memahami terminologi tauhid dzauqi ahli sufi.

Memang terdapat beberapa paradoks dalam Penisbatan Tafsir ini kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani seperti dalam mukadimah kitab ini disebutkan, “... Kemudian ketika futûh yang dibukakan dan diberikan Allah secara murni dari pemberian-Nya itu semakin jelas, maka dinamakanlah (kitab ini) dengan nama yang diperoleh dari sisi-Nya, ‘Al Fawâtîh al-Ilâhiyah wa al-Mafâtîh al-Ghaibiyah al-Mudhîhah li al-Kalim al-Qur’âniyah wa al-Hikam al-Furqaniyah.’” Berangkat dari ungkapan inilah kemudian Haji Khalifah dalam kitabnya, “Kasyfudz Dzunûn”, 2/1292 dan Al-Zarkali dalam kitabnya, “Al-I’lâm”, 8/39, serta Kamus Kumpulan Pengarang Kitab, menisbatkan kitab ini kepada Syekh Nikmatullah bin Mahmud An-Nakhjawani (w. 920 H), seorang sufi tarekat al-Qadiriyah asal Uzbekistan.

Namun demikian, peneliti kitab ini, Syekh Dr. Muhammad Fadhil, telah melampirkan bukti keotentikannya berupa salinan manuskrip (yang di dalamnya penyalin tafsir menuliskan pada setiap akhir Juz 1 hingga Juz 3 kalimat berikut, “Telah selesai Juz 3 dari tafsir Sulthan al-‘Ârifîn Sayyidi Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallah sirrah.” Dan, dalam salinan manuskrip (ج) telah dituliskan pula pada Juz 1, “Juz pertama dari tafsir Al-Qur’an karya Maulana pemilik cahaya rabbâni, organ shamadâni, Imam Para Arif, Mahkota Agama, quthb yang sempurna Sayid Abdul Qadir Al-Jailani...”

Selain itu, Mufti Iraq, Al-‘Âlim al-‘Allâmah Syekh Abdul Karim Basyarah Al-Mudarris menyebutkan dalam kitabnya, “Isnâd al-‘Alam ila Hadrah Sayyid al-‘Âlam” tentang beberapa karangan Quthb Ar-Rabbani al-Gauth ash-Shamadani Quthb Baghdad Abu Shalih Muhyiddin Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qadassallah sirrah, bahwa Syekh Abdul Qadir memiliki berbagai karya, yang di antara karya besarnya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhîm dalam 6 jilid yang salah satu salinannya terdapat di Tharablus, Libya dan belum dicetak hingga sekarang. Para Nuqabâ’ (pimpinan keluarga Al-Jailani) Baghdad pernah berencana mencetaknya, namun karena beberapa halangan maka tidak dapat dicetak.

Bahkan, setelah melalui kajian, pengamatan serta perbandingan terhadap gaya bahasa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani melalui karya-karya beliau yang terkenal seperti, Al-Gunyah, Fathurrabbani, Futuh Al-Ghaib, dan lainnya, maka dapat dipastikan bahwa penisbatan kitab ini kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah benar adanya.

Bagi yang telah membaca secara teliti kitab ini menggunakan feeling ilmiah dengan cermat berdasarkan dalil aqli dan naqli serta perbandingan berbagai uslub dan “sidik jari ilmiah” penulisnya, akan tahu pasti dan yakin bahwa pengarangnya adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Sebagaimana pula diakui oleh para pemelihara peninggalan Al-Qadiri di Baghdad bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memang memiliki karya tafsir.

Namun, jika sekadar dilihat dari sejarah dan perkembangan terminologi sufi yang ada di dalamnya, maka tidak dipungkiri bahwa Tafsir Al-Jailani ini telah mengalami format ulang serta penyempurnaan, terutama oleh tokoh sufi Al-Qadiri yang bernama Nikmatullah An-Nakhjawani, sehingga menjadi lebih sistematis dan sempurna seperti yang ada saat ini.

Adapun terkait penamaannya sebagai “Tafsir Al-Jailani” maka itu semata-mata merupakan gagasan dari penelitinya. Ketika saya tanyakan alasannya, beliau menjelaskan bahwa penemuan serta penelitian manuskrip kitab ini telah memakan waktu selama 30 tahun dan beliau takut jika suatu ketika karya ini “dicuri” oleh peneliti gadungan yang banyak tersebar di Arab, sehingga usaha beliau untuk memunculkan karya-karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang masih terkubur akan terganggu dan diselewengkan untuk tujuan materialistis belaka dan sebagai mata pencaharian semata.

Sebenarnya, mulai dari mukadimah segala perkara yang berhubungan dan berkaitan dengan Al-Qur’an dan tafsirnya telah dipaparkan oleh pengarangnya sehingga tampak nyata bahwa tafsir ini adalah karya besar beliau sendiri. Jika pembaca tekun dan telaten, pasti akan tampak baginya bahwa beliau dalam kitab ini, secara tekstual banyak mengutip dari karya guru yang dikaguminya yaitu Syekh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Muqaddimah fî Ushûl At-Tafsîr.” Dan, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah praktisi handal yang mampu memetakan seluruh pemikiran Tarbiyah Ruhiyah Sufiyah konseptor ulung, yaitu Imam Al-Ghazali.


Sumber:
FB Tasawuf Underground

Share:

Kata-Kata Mutiara Imam Ali Bin Abi Thalib

Kata-Kata Mutiara Imam Ali Bin Abi Thalib
Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekadar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya. (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Memulai pekerjaan adalah sunnah, sedangkan memeliharanya adalah wajib (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Jika engkau ingin mengetahui watak seseorang, maka ajaklah dia bertukar pikiran denganmu. Sebab, dengan bertukar pikiran itu, engkau akan mengetahui kadar keadilan dan ketidakadilannya, kebaikan dan keburukannya (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Duduklah bersama orang-orang bijak, baik mereka itu musuh atau kawan. Sebab, akal bertemu dengan akal (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatiaanmu (dari mengingat Allah SWT) (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Tanyailah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedangkan kecemburuan seorang laki-laki adalah keimanan. (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Berbicaralah, niscaya kalian akan dikenal karena sesungguhnya seseorang tersembunyi dibawah lidahnya (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka, datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliaannya. Sebab, jika hati itu dipaksakan, ia akan buta (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Tidak ada kenikmatan di dunia ini yang lebih besar dari pada panjang umur dan badan yang sehat (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Sesungguhnya wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun tidak (sangup) menyembunyikan kebenciaan walau hanya sesaat. (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Tiga hal yang menyelamatkan, yaitu; takut kepada Allah, baik secara diam-diam maupun terang-terangan; hidup sederhana, baik di waktu miskin maupun kaya; dan berlaku adil, baik diwaktu marah maupun ridha (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Tiga macam orang yang tidak diketahui kecuali dalam tiga situasi; (pertama) tidak diketahui orang pemberani kecuali dalam situasi perang. (kedua) tidak diketahui orang yang penyabar kecuali ketika sedang marah. (ketiga) tidak diketahui sebagai teman kecuali ketika (temannya) sedang butuh (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Barang siapa yang dalam urusannya berada pada posisi tidak memikirkan akibatnya, maka dia telah menghadapkan dirinya pada musibah yang besar (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Diantara taufik adalah berhenti ketika ragu (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Diantara amal kebajikan yang paling utama adalah; berderma di saat susah, bertindak benar ketika sedang marah, dan memberi maaf ketika mampu untuk menghukum (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Kebajikan adalah apa yang dirimu merasa tenang padanya dan hatimu merasa tentram karenanya. Sedangkan dosa adalah yang jiwamu merasa resah karenanya dan hatimu menjadi bimbang (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Jika perkataan keluar dari hati, maka ia akan berpengaruh terhadap hati, dan jika ia keluar dari lidah, maka ia tidak akan mencapai telinga (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Janganlah engkau merendahkan seseorang karena kejelekan rupanya dan pakaiannya yang usang, karena sesungguhnya Allah ta’ala hanya memandang apa yang ada dalam hati dan membalas segala perbuatan (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Janganlah engkau tergesa-gesa mencela seseorang karena dosanya. Sebab barangkali dosanya telah diampuni. Dan janganlah engkau merasa aman akan dirimu karena suatu dosa kecil. Sebab, barangkali engkau akan diazab karena dosa kecilmu itu (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Jauhilah olehmu posisi mengemukakan alasan. Sebab, ada kalanya alasan justru menetapkan kesalahan terhadap orang yang berdalih itu, meskipun dia bersih dari dosa itu (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Barangsiapa yang telah kehilangan keutamaan kejujuran dalam pembicaraannya, maka dia telah kehilangan akhlaknya yang termulia (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang terpercaya, menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan saudara (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Janganlah engkau merasa senang dengan banyaknya teman, selama mereka bukan orang yang baik-baik. Sebab, kedudukan teman seperti api, sedikitnya adalah kenikmatan, sedangkan banyaknya adalah kebinasaan (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Sebaik-baik teman, jika engkau tidak membutuhkannya, dia akan bertambah dalam kecintaannya kepadamu, dan jika engkau membutuhkannya, dia tidak akan berkurang sedikitpun kecintaannya kepadamu (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Ada kalanya perang terjadi karena satu kalimat, dan ada kalanya pula cinta tertanam karena pandangan sekilas (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Perbuatan buruk yang menjadikanmu bersedih karenanya lebih baik di sisi Allah dari pada perbuatan baik yang membuatmu bangga (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)

Siapa yang memandang dirinya buruk maka dia adalah orang yang baik. Dan siapa yang memandang dirinya baik, dia adalah orang yang buruk. (Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib)
 
 
Dikutip dari “Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku: Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib”

Share:

Dalil Lengkap Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw

Ngaji.web.id - Peringatan Maulid Nabi pada dasarnya adalah ungkapan rasa senang dan gembira dengan Nabi Kita Muhammad SAW, sebab rasa senang dan gembira itu sendiri merupakan perintah Allah:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾ (يونس: 58)
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kita agar bergembira dengan karunia dan rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad adalah rahmat terbesar yang diberikan oleh Allah:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾ (الأنبياء: ١٠٧)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Rasa senang dan gembira ini sebagaimana yang telah Nabi contohkan sendiri dengan cara berpuasa pada hari kelahiran beliau. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ فَقَالَ: فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ» (رواه مسلم: 1978)
Diriwayatkan dari Abû Qatâdah al-Anshâri: “Bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim: 1978)
Walaupun dengan tata cara yang bebeda, tetapi apa yang dilakukan Rasul dan perayaan maulid yang dilaksanakan oleh umat islam saat ini mempunyai esensi yang sama. Yakni sebagai suatu nikmat yang amat besar.
Dalam peringatan Maulid Nabi terdapat dorongan kuat untuk membaca shalawat dan salam kepada beliau sebagaimana firman Allah :
﴿إِنَّ اللهَ وَمَلاٰۤئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاۤ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا﴾ (الأحزاب: ٥٦)
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)
Segala sesuatu yang menjadi dorongan untuk melakukan perbuatan yang dianjurkan oleh syara’, berarti dianjurkan pula dalam syara’. Dan segala sesuatu yang menjadi dorongan melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’, berarti diperintahkan pula dalam syara’. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْواَجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (الأشباه والنظائر، ج: 2، ص: 90)
“Sesuatu yang tidak dapat sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengannya, maka sesuatu tersebut juga berhukum wajib.”
Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalâluddin al-Suyûthi (849-901 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi ini. Di dalam al-Hâwi li al-Fatâwi beliau menjelaskan:
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلُوْدِ النَّبَوِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ اْلأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعِ، وَهَلْ مَحْمُوْدٌ أَوْ مَذْمُوْمٌ، وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ اَوْ لاَ؟ قَالَ: اَلْجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلُدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاۤءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآٰنِ وَرِوَايَةُ اْلأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ  وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ اْلآٰيَاتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهَمُ سَمَاطً يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلٰى ذٰلِكَ هُوَ مِنَ الْبَدْعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ  وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَاْلإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ (الحاوي للفتاوي، ج: 1، ص: 251-252)
“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukan diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: “Jawabannya menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupan-nya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinik-mati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukan diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad yang mulia.”
Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki:
قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: قَدْ يُثَابُ بَعْضُ النَّاسِ عَلٰى فِعْلِ الْمَوْلُوْدِ، وَكَذٰلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْضُ النَّاسِ إِمَّا مَضَاهَاةٌ لِلنَّصَارٰى فِيْ مِيْلاَدِ عِيْسٰى  وَإِمَّا مَحَبَّةٌ لِلنَّبِيِّ وَتَعْظِيْمًا لَهُ، وَاللهُ قَدْ يُثِيْبُهُمُ عَلٰى هٰذِهِ الْمَحَبَّةِ وَاْلإِجْتِهَادِ، لاَ عَلَى الْبَدْعِ (منهج السلف في فهم النصوص بين النظرية والتطبيق، ص: 399)
Ibnu Taimiyah berkata: “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi. Allah akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.”
Peringatan Mauid Nabi ini, mengandung banyak fadlîlah (keutamaan) di antaranya adalah sebagaimana yang dikutip oleh al-Imam Syihâbuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (899-974 H/1494-1566 M) dalam kitabnya al-Ni’matu al-Kubrâ ‘alâ al-‘Alam fî Maulidi Sayyidi Waladi Adam berikut ini:
قَالَ أَبُوْ بَكْرِ نِالصِّدِّيْقَ :«نْ اَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلٰى قِرَاۤءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ  كَانَ رَفِقِيْ فِي الْجَنَّةِ»
Sayyidina Abû Bakar ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa yang menginfaqkan satu dirham atas dibacanya Maulid Nabi, maka ia adalah temanku di surga.”
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ قَدْ أَحْيَا اْلإِسْلاَمَ»
Sayyidina ‘Umar bin Khaththâb  berkata: “Barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi, sungguh ia telah menghidupkan agama islam.”
قَالَ عُثْمَانُ ابْنُ عَفَّانَ مَنْ اَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلٰى قِرَاۤءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ  فَكَأَنَّمَا شَهِدَ غَزْوَةَ بَدْرٍ وَ حُنَيْنٍ»
Sayyidina Abû Bakar ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa yang menginfaqkan satu dirham atas dibacanya Maulid Nabi, maka seakan-akan ia rela mengorbankan jiwanya untuk membela agama pada perang Badar dan perang Hunanin”
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: «مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ  وَكَانَ سَبَابًا لِقِرَاۤءَتِهِ لاَ يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ بِاْلإِيْمَانِ وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ»
Sayyidina ‘Ali bin Abî Thâlib KW berkata: “Barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi dan ia menjadi sebab dibacanya Maulid Nabi, maka ia tidak akan meninggal kecuali dengan iman dan masuk surga tanpa hisab.”
قَالَ حَسَنٌ الْبَصْرِيُّ وَدِدْتُ لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَتُهُ عَلٰى قِرَاۤءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ
Hasan al-Bashri berkata: “Aku senang andaikan memiliki sebesar gunung Uhud berupa emas kemudian aku infaqkan atas dibacanya Maulid Nabi:
قَالَ الْجُنَيْدُ الْبَغْدَادِيُّ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ: «مَنْ حَضَرَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ  وَعَظَّمَ قَدْرَهُ فَقَدْ فَازَ بِاْلإِيْمَانِ»
Junaid al-Baghdâdi -mudah-mudahan Allah mensucikan ruhnya- berkata: “Barangsiapa menghadiri Maulid Nabi dan mengagungkan derajatnya, sungguh ia beruntung dengan iman.”
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: «مَنْ جَمَعَ لِمَوْلِدِ النَّبِيِّ  إِخْوَانًا وَهَيَّأَ طَعَمًا وَأَخْلٰى مَكاَنًا وَعَمِلَ إِحْسَانًا وَصَارَ سَبَبًا لِقِرَاۤءَتِهِ بَعَثَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الصِّدِّقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَيَكُوْنُ فِيْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ»
Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa mengumpulkan kawan-kawannya untuk menghormati Maulid Nabi menghidangkan makanan, mempersiapkan tempat, melakukan hal-hal yang baik, dan menjadi penyelenggara untuk pembacaan Maulid Nabi SYMBOL 114 \f “AGA Arabesque” \s 12.5 maka di hari kiamat ia akan dikumpulkan Allah bersama shiddiqîn, syuhadâ’, shalihîn, dan akan berada di jannâtin na’îm (surga tempat kenikmatan).”
Dihimpun oleh : H. Abd. Kholiq Hasan, M.HI. (Katib Syuriah PCNU Jombang)
Dari kitab :
1. Shahîh Muslim karya Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Naisaburi (Imâm Muslim)
2. Al-Hâwi li al-Fatâwi karya Al-Imam Jalaluddin Abdu al-Rahman bin Abû Bakar bin Muhammad bin Sâbiq al-Khudhari al-Suyuthi (Imam Jalâluddin al-Suyûthi)
3. Manhaj al-Salafi fî Fahmi al-Nushûsh baina al-Nadhariyyah wa al-Tathbîq karya Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin Sayyid ‘Alawi bin Sayyid ‘Abbas bin Sayyid ‘Abdu al-‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari al-Syadzili (Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki)
4. Al-Ni’matu al-Kubrâ ‘alâ al-‘Alam fî Maulidi Sayyidi Waladi Adam karya Al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami as-Sa’di al-Anshari as-Syafi’iy (Imam Ibnu Hajar al-Haitami)

Share:

Fatwa Ulama Ahlusunnah dan Wahabiyah Tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Fatwa Ulama Ahlusunnah dan Wahabiyah Tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Ngaji.web.id - Peringatan Maulid Nabi Muhammad adalah masalah muamalah,bukan ibadah, demikian penjelasan Dr. Mustofa Yaqub MA dalam satu ceramahnya di TVRI, Imam Besar masjid Istiqlal dan ulama Ahli hadits Indonesia. Karena memperingati Maulid Nabi itu masalah muamalah, maka manusia dibolehkan berinovasi (Arab, bid'ah) selagi tidak ada perbuatan yang melanggar syariah. Sama dengan bolehnya manusia memakai komputer, browsing internet, naik mobil dan pesawat terbang walaupun semua ini tidak ada pada zaman Nabi dan para Sahabat. Dalam kaidah fikih dikatakan bahwa "hukum asal dari masalah muamalah adalah boleh." Sedangkan kaum Wahabi menganggap bahwa Maulid Nabi termasuk ibadah yang bersifat tauqifi dan harus berdasarkan atas Quran dan hadits. Perbedaan dasar inilah yang membuat kontroversi Maulid Nabi sulit menemukan titik temu antara kaum Wahabi yang mengharamkan dan kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah yang membolehkan.
Memperingati atau merayakan maulid Nabi Muhammad s.a.w sudah menjadi tradisi yang mengakar di kalangan umat Islam Indonesia. Hari kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada 12 Rabiul Awal ini bahkan sudah menjadi salah satu hari besar dan hari libur nasional. Hukum merayakan maulid Nabi dipertanyakan halal haramnya setelah munculnya kelompok neo Khawarij yang bernama Wahabi yang mengharamkan peringatan maulid Nabi dan menganggapnya sebagai bid'ah dhalalah (sesat).


I. SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI

Ada berbagai macam versi mengenai waktu awal mula diadakannya peringatan atau perayaan Maulid Nabi. Jalaluddin As-Suyuthi (1445 - 1505M atau 849 - 911 H)[1] menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Malik Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi (1153 - 1232 M atau 549 - 630 H).[2]

Sebagian pendapat mengatakan bahwa Shalahuddin Al Ayyubi (1138 - 1193 M), yang pertama kali melakukan peringatan Maulid Nabi secara resmi. Sementara versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fathimiyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah atau abad keduabelas masehi.[3]

Kegiatan perayaan (ihtifal) maulid Nabi ini kemudian menyebar ke berbagai negara Islam termasuk Indonesia.

II. HUKUM MAULID NABI MENURUT ULAMA AHLUS-SUNNAH (NON-WAHABI)

Mayoritas ulama membolehkan peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad selagi tidak ada perbuatan yang melanggar syariat saat peringatan tersebut. Jalaluddin As Suyuthi berpendapat bahwa sunnah itu dapat terjadi dengan qiyas (analogi) tidak harus berdasarkan adanya dalil Quran dan hadits.


FATWA JALALUDDIN AS SUYUTHI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

1. Jalaluddin As-Suyuthi berpendapat bahwa memperingati maulid Nabi Muhammad adalah bid'ah hasanah (baik). As-Suyuthi mengatakan:

وبعــــد: فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول، ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو لا؟.

الجـــــواب:

عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف.

Arti kesimpulan: Perayaan Maulid Nabi yang berupa berkumpulnya manusia dengan membaca ayat Quran dan sejarah Nabi dan memakan hidangan makanan termasuk dari bid'ah yang baik (hasanah) yang mendapat pahala karena bertujuan mengagungkan Nabi Muhammad dan menampakkan kegembiraan terhadap kelahiran Nabi.

Alasan As-Suyuthi menganggap sunnah merayakan maulid Nabi karena hukum sunnah itu tidak harus terjadi pada era Nabi, tapi bisa karena qiyas.[4]

Istilah bid'ah hasanah (baik) dan qabihah (buruk) yang dipakai As-Suyuthi berasal dari Imam Nawawi dalam kitab تهذيب الأسماء واللغات Tahdzibul Asma' wal Lughat.


FATWA ABUL KHATTAB AL DIHYAH TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

2. Abul Khattab bin Dihyah pada tahun 604 H menulis kitab At Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir (التنوير في مولد البشير النذير) khusus membahas tentang bolehnya Maulid Nabi. Bin Dihyah adalah ulama ahli hadits yang bergelar Al Hafidz asal Maroko yang terkenal pada zamannya.[5]

3. Ismail bin Umar bin Katsir, penulis tafsir Al Quran Ibnu Katsir yang terkenal termasuk yang membolehkan perayaan Maulid Nabi Muhammad.[6]

4. Syed Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasnai dalam kitabnya Hawlal Ihtifal bi Dzikral Maulid an-Nabawi [7]


FATWA YUSUF QARDHAWI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

- Yusuf Qardhawi menganggap perayaan Maulid Nabi Muhammad adalah baik. Qardhawi menyatakan:
فهناك لون من الاحتفال يمكن أن نقره ونعتبره نافعاً للمسلمين، ونحن نعلم أن الصحابة رضوان الله عليهم لم يكونوا يحتفلون بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ولا بالهجرة النبوية ولا بغزوة بدر، لماذا؟

لأن هذه الأشياء عاشوها بالفعل، وكانوا يحيون مع الرسول صلى الله عليه وسلم، كان الرسول صلى الله عليه وسلم حياً في ضمائرهم، لم يغب عن وعيهم، كان سعد بن أبي وقاص يقول: كنا نروي أبناءنا مغازي رسول الله صلى الله عليه وسلم كما نحفِّظهم السورة من القرآن، بأن يحكوا للأولاد ماذا حدث في غزوة بدر وفي غزوة أحد، وفي غزوة الخندق وفي غزوة خيبر، فكانوا يحكون لهم ماذا حدث في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، فلم يكونوا إذن في حاجة إلى تذكّر هذه الأشياء.

ثم جاء عصر نسي الناس هذه الأحداث وأصبحت غائبة عن وعيهم، وغائبة عن عقولهم وضمائرهم، فاحتاج الناس إلى إحياء هذه المعاني التي ماتت والتذكير بهذه المآثر التي نُسيت، صحيح اتُخِذت بعض البدع في هذه الأشياء ولكنني أقول إننا نحتفل بأن نذكر الناس بحقائق السيرة النبوية وحقائق الرسالة المحمدية، فعندما أحتفل بمولد الرسول فأنا أحتفل بمولد الرسالة، فأنا أذكِّر الناس برسالة رسول الله وبسيرة رسول الله

وفي هذه المناسبة أذكِّر الناس بهذا الحدث العظيم وبما يُستفاد به من دروس، لأربط الناس بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا) [الأحزاب 21] لنضحي كما ضحى الصحابة، كما ضحى علِيّ حينما وضع نفسه موضع النبي صلى الله عليه وسلم، كما ضحت أسماء وهي تصعد إلى جبل ثور، هذا الجبل الشاق كل يوم، لنخطط كما خطط النبي للهجرة، لنتوكل على الله كما توكل على الله حينما قال له أبو بكر: والله يا رسول الله لو نظر أحدهم تحت قدميه لرآنا، فقال: "يا أبا بكر ما ظنك في اثنين الله ثالثهما، لا تحزن إن الله معنا".

نحن في حاجة إلى هذه الدروس فهذا النوع من الاحتفال تذكير الناس بهذه المعاني، أعتقد أن وراءه ثمرة إيجابية هي ربط المسلمين بالإسلام وربطهم بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم ليأخذوا منه الأسوة والقدوة، أما الأشياء التي تخرج عن هذا فليست من الاحتفال؛ ولا نقر أحدًا عليها.
Artinya: Ada salah satu jenis perayaan/peringatan yang dapat kita anggap bermanfaat bagi umat Islam. Kita tahu bahwa para Sahabat tidak merayakan Maulid Nabi Muhammad, hijrah Nabi dan Perang Badar, kenapa?

Karena kejadian-kejadian di atas mereka lakukan dalam kehiudpan nyata. Mereka hidup bersama Nabi. Dan Nabi hidup dalam hati mereka. Tidak hilang dari kesadaran mereka. Sa'ad bin Abi Waqqas berkata: Kami mengisahkan pada anak-anak kami kisah-kisah peperangan Nabi sebagaimana kami menghafal Surah dari Al-Qur'an dengan bercerita pada anak-anak apa yang terjadi dalam Perang Badar dan Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar. Mereka bercerita pada anak-anak mereka apa yang terjadi pada masa hidup Nabi sehingga mereka tidak perlu memperingati perayaan-perayaan semacam ini.

Kemudian datanglah masa di mana manusia melupakan berbagai peristiwa di atas dan hilang dari kesadaran, jiwa dan hati mereka. Maka manusia perlu untuk menghidupkan kembali pemahaman yang telah mati dan mengingat peristiwa yang sudah terlupakan. Betul, terdapat hal-hal bid'ah dalam perkara ini tapi saya berpendapat bahwa kita merayakannya untuk mengingatkan manusia atas hakikat perjalanan kenabian dan risalahnya. Saat kita memperingati Maulid Nabi maka saya memperingati kelahiran terutusnya Nabi; maka saya mengingatkan manusia atas diutusnya Rasulullah dan kisah kenabian beliau.

... Kita saat ini sangat perlu untuk mempelajari (kisah Nabi) ini. Perayaan semacam ini bertujuan untuk mengingatkan manusia akan makna-makna di atas. Saya yakin bahwa di balik beberapa peringatan ini terdapat hasil yang positif yaitu mengikat umat dengan Islam dan mengikat mereka dengan sejarah Nabi untuk dimabil suri tauladan dan panutan. Adapun hal-hal yang keluar dari ini, maka itu bukanlah perayaan dan kami tidak mengakuinya.
(Sumber: http://qaradawi.net/fatawaahkam/30/1444.html).


FATWA SAID RAMADAN AL-BUTHI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

Said Ramadhan Al-Buthi menilai bahwa Maulid Nabi bukan bid'ah walaupun ia baru eksis setelah era Tabi'in atau Tabi'it Tabi'i. Ia berpendapat tidak semua yang baru itu bid'ah. Dalam salah satu fatwanya ia menyatakan:
ليس كل جديد بدعة
البدعة، بمعناها الاصطلاحي الشرعي، ضلالة يجب الابتعاد عنها، وينبغي التحذير من الوقوع فيها. ما في ذلك ريب ولا خلاف. وأصل ذلك قول رسول الله صلى الله علية وسلم فيما اتفق علية الشيخان (من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهورد) وقوله فيما رواه مسلم : (إن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة).

ولكن ما هو المعنى المراد من كلمة (بدعة) هذه ؟
هل المراد بها معناها اللغوي الذي تعارف علية الناس فيكون المقصود بها إذن، كل جديد طارئ على حياة المسلم، مما لم يفعله رسول الله صلى الله علية وسلم ولا أحد من أصحابه، ولم يكن معروفا لديهم؟
إن الحياة ما تزال تتحول بأصحابها من حال ألي حال، وتنقلهم من طور إلى آخر..

Artinya: Ditinjau dari pengertian istilah yang syar'i tidak semua yang baru itu bid'ah dhalalah (sesat) yang wajib dijauhi. Tidak ada keraguan dan perbedaan dalam soal ini. Asal dari masalah bid'ah ini adalah sabda Nabi riwayat Bukhari dan Muslim: Barangsiapa yang mengada-ada di dalam urusan agama ini dengan sesuatu yang tidak berasal darinya, maka tertolak." Dan sabda Nabi dalam sebuah hadits riwayat Muslim: "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan setiap yang bidah itu adalah kesesatan."

Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kata "bid'ah" di sini? Apakah yang dimaksud dengan bid'ah secara lughawi (literal) yang umum diketahui manusia sehingga yang dimaksud adalah setiap hal yang baru pada kehidupan muslim yang tidak dilakukan Rasulullah dan para Sahabat tidak ada yang tahu? Sesungguhnya kehidupan senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan berpindah dari masa ke masa yang lain ...

Lebih detail baca: الاحتفال بالمولد النبوي


FATWA SAYYID MUHAMMAD ALWI AL-MALIKI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, ulama terkenal Mekkah yang bukan Wahabi menulis buku khusus tentang bolehnya merayakan
Maulid Nabi Muhammad. Kitabnya berjudul Haulal Ihtifal bi Dzikrol Maulidin Nabawi as-Syarif. Berikut salah satu isinya:
أننا نقول بجواز الاحتفال بالمولد النبوي الشريف والاجتماع لسماع سيرته والصلاة والسلام عليه وسماع المدائح التي تُقال في حقه ، وإطعام الطعام وإدخال السرور على قلوب الأمة

Artinya: Saya berpendapat atas bolehnya merayakan maulid Nabi dan berkumpul untuk mendengar sejarah Nabi, membaca shalawat dan salam untuk Nabi, mendengarkan puji-pujian yang diucapan untuk beliau, memberi makan (pada yang hadir) dan menyenangkan hati umat.

Lebih detail baca: حول الاحتفال بذكرى المولد النبوي للسيد محمد علوي المالكي

- Habib Mundzir Al Musawa dalam bukunya Kenalilah Aqidahmu membuat daftar panjang kalangan ulama dulu dan kontemporer (muta'akhirin) dan kitabnya yang menghalalkan perayaan Maulid Nabi Muhammad sebagai berikut:

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi)
Syamsuddin Aljazriy dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif
Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy
Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
Ibn Abidin rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar
Ibnul Jauzi dengan karangan maulidnya yg terkenal al aruus
Al Qasthalaniy dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah
Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya Urfu at ta’rif bi maulid assyarif.
Al ’Iraqy dg maulidnya Maurid al hana fi maulid assana
Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya Itmam anni’mah alal alam bi maulid sayidi waladu adam
Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg Maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
Muhammad Al maghribi dg Maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.


III. HUKUM MAULID NABI MENURUT ULAMA WAHABI SALAFI

Adapun pendapat ulama Wahabi Salafi hampir seragam: merayakan maulid Nabi adalah bid'ah dhalalah. Dan haram.

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan:

لا يجوز الاحتفال بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ، ولا غيره ؛ لأن ذلك من البدع المحدثة في الدين ؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعله ، ولا خلفاؤه الراشدون ، ولا غيرهم من الصحابة ـ رضوان الله على الجميع ـ ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة ، وهم أعلم الناس بالسنة ، وأكمل حباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعة لشرعه ممن بعدهم .
Artinya: Tidak boleh merayakan maulid (kelahiran) Nabi dan lainnya karena termasuk bid'ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi, khalifah yang empat, dan Sahabat lain dan tabi'in. Padahal mereka yang lebih tahu tentang sunnah dan lebih sempurna kecintaannya pada Rasul dan lebih mengikuti syariahnya daripada generasi setelahnya.[8]

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:

فالاحتفال به يعتبر من البدعة وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : " كل بدعة ضلالة " قال هذه الكلمة العامة ، وهو صلى الله عليه وسلم أعلم الناس بما يقول ، وأفصح الناس بما ينطق ، وأنصح الناس فيما يرشد إليه ، وهذا الأمر لا شك فيه ، لل يستثن النبي صلى الله عليه وسلم من البدع شيئاً لا يكون ضلالة ، ومعلوم أن الضلالة خلاف الهدى ، ولهذا روى النسائي آخر الحديث : " وكل ضلالة في النار " ولو كان الاحتفال بمولده صلى الله عليه وسلم من الأمور المحبوبة إلى الله ورسوله لكانت مشروعة ، ولو كانت مشروعة لكانت محفوظة ، لأن الله تعالى تكفل بحفظ شريعته ، ولو كانت محفوظة ما تركها الخلفاء الراشدون والصحابة والتابعون لهم بإحسان وتابعوهم ، فلما لم يفعلوا شيئاً من ذل علم أنه ليس من دين الله
Arti kesimpulan: Memperingati maulid Nabi itu bid'ah dhalalah (sesat).[9]

IV. KESIMPULAN HUKUM MAULID
Peringatan atau perayaan maulid Nabi adalah bi'dah karena tidak dilakukan pada zaman Nabi. Akan tetapi termasuk daripada bid'ah hasanah (hal baru yang baik) selagi apa yang dilakukan dalam peringatan maulid itu tidak bertentangan dengan spirit Al Quran, Sunnah, atsar Sahabat dan ijma' ulama.

Pandangan Wahabi bahwa segala sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi dianggap bi'dah sesat (dhalalah) adalah pandangan yang sempit. Karena para Sahabat banyak melakukan bid'ah. Seperti Abu Bakar dengan pengumpulan catatan Al Quran, Umar bin Khattab dengan tarawih dan Utsman bin Affan dengan pembukuan Al Quran yang dikenal dengan mushaf Utsmani.



Alkhoirot.net

====================
[1] Jalaluddin As-Suyuthi, Husnul Maqsad fi Amalil Maulid (حسن المقصد في عمل المولد)
[2] Mudhoffar adalah penguasa kawasan Irbil pada masa Shalahuddin Al Ayyubi. Nama lengkapnya Mudhofaruddin Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Baktakin bin Muhammad (مظفر الدين أبو سعيد كوكبري بن زين الدين علي بن بكتكين بن محمد)
[3] Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi dalam Al A’yad wa Atsaruha alal Muslimin
[4] Jalaluddin As-Suyuthi, ibid. Link: almoslem.net/modules.php?name=News&file=article&sid=27
[5] Ibid
[6] ibid
[7] Termasuk ulama muta'akhirin yang berani merayakan Maulid Nabi di Arab Saudi kendati dilarang oleh ulama Wahabi. Kitabnya dapat dibaca di sini: حول الاحتفال بذكرى المولد النبوي للسيد محمد علوي المالكي
[8] Lihat http://www.khayma.com/kshf/B/Moled.htm
[9] فتاوى الشيخ محمد الصالح العثيمين " إعداد وترتيب أشرف عبد المقصود
Share:

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.